Sebelumnya, penulis berusaha untuk menekankan bahwa artikel ini tidak ada hubungannya dengan agama atau hal-hal sensitif lain yang sejenis. Keterkaitan-keterkaitan yang mungkin muncul adalah tanpa sengaja dikarenakan tulisan penulis mengambil garis besar yang ada dikehidupan sehari-hari.
So..
Pernah ga sih kita kadang-kadang mikir kalo kita sering melakukan pengumpulan dana untuk mereka yang membutuhkan, seperti orang-orang miskin, para anak yatim piatu, penyandang disabilitas dll. Bahkan pengumpulan dana itu juga ada yang sifatnya konsisten, ada yang diwajibkan pertahun, ada yang tiap hari secara sukarela (mau ngasi atau mau dilewatin gitu aja kotaknya juga boleh), atau juga ada yang lagi niat untuk keperluannya (misal untuk dilancarkan UN, siswa kelas 12 SMA blablabla mengumpulkan dana untuk disumbangkan ke panti asuhan). Intinya sebenernya dana-dana ini hampir (secara konsisten) ada untuk orang-orang yang dianggap tidak mampu/di bawah orang berkecukupan tadi. Tapi pertanyaannya, kok bisa ya masih ada aja orang miskin padahal hampir konsisten loh diberi dana-dana bantuan dari para kaum yang hidupnya berkecukupan/di atas berkecukupan ini yang jumlahnya tidak sedikit untuk mereka?
Masa yang jadi perantara bohong, dananya ga benar-benar disalurkan. Masa dananya diembat sendirian. Atau apa iya dari dana total yang dikumpulkan itu, si pengumpul dana dapet jatah juga bahkan jatahnya lebih banyak daripada yang mau disumbangkan?..
Well, di luar suudzon-suudzon tadi, ada yang lebih baik kita lakukan, yaitu, dalam beberapa aspek kita harus mulai mengubah mindset kita yang selama ini menganggap kalo dana mentah itu lebih baik dikasih langsung ke orang lain.
Menurut saya, gagasan memberi dana secara langsung dan mentahan itu adalah gagasan yang tidak punya pemikiran panjang. Mereka hanya memanfaatkan pandangan orang-orang tidak mampu yang akan menganggap kalo itu (dana mentah yang diberi langsung) adalah bentuk keperhatianan, padahal mereka (mostly) ga sadar, kalo itu hanyalah pemuas sementara saja.
Kan kita sering tuh denger, ketika pemerintah punya dana banyak, niatnya dana tersebut dibuat untuk bangun ini bangun itu, tapi kemudian pihak oposisi memunculkan kalimat "Rakyat masih banyak yang miskin, Pak. Daripada dananya buat ini itu, mendingan buat menyejahterakan mereka aja."
Padahal menyejahterakan orang itu apa ya melulu dengan diberi uang langsung?
Kadang kita juga harus menerapkan "susah-susah dahulu senang-senang kemudian" di negara ini, bukan hanya di individu masing-masing. Maksud ane adalah, ketika ada kebijakan pemerintah yang memberatkan, seperti harga bbm naik, itu jangan langsung dipandang sebuah kegagalan, tapi ingat kalimat yang ane kutip tadi, iya, itu merupakan proses bersusah-susah dulu, dan inshaAllah ke depannya akan terasa senangnya.
Ambil positifnya aja lah, dengan harga bbm naik, kita terpaksa berhemat, dengan hemat berkendara, polusi berkurang, atau mungkin kepadatan di jalan berkurang. Ya tapi memang, ada beberapa hal yang masih tidak dapat dihindari, contohnya panas lingkungan, mau ga ada kendaraan juga kalo siang tetep panas Indonesia..
Nah, kalo kita ga mau ikut bersusah-susah bersama demi kemajuan negeri ini, ya udah gampang, berarti kita masih banyak yang apatis, dan lebih parahnya, siklus menyedihkan Indonesia akan terus seperti ini seterusnya...
Share